Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh…
Salam sejahtera untukmu wahai kekasih yang diutus
Allah menjadi penebar rahmat bagi semesta. Salam juga terukir dari relung hati
paling dalam kepada seluruh ahli bait, sahabat dan para pewaris risalahmu yang
senantiasa menggoreskan langkah kakinya dan tapak hidupnya untuk menegakkan
sunnah dan mendistribusikan dakwah Islam ke seantero jagad.
Wahai penghulu para anbiya…
Aku tak tahu bagaimana lagi melukiskan haru-birunya
hatiku menuliskan surat ini. Surat pertamaku kepadamu. Bahkan surat
pertama kepada orang lain yang benar-benar kutulis dengan sepenuh jiwa yang
menggerakkan jari-jari menekan tust keyboard. Entah kekuatan apa
yang membuatku berani bercerita padamu tentang gundahku. Mungkin ini terkesan
terlalu cengeng. Apalagi bagi lelaki sepertiku yang –menurut kebanyakan orang-
bertipe pendengar dan sangat cocok menjadi konsultan, psikolog atau motivator.
Ah, itu kan cuma kata orang-orang. Toh nyatanya aku juga manusia biasa. Punya
rasa, punya hati dan –tentu- tak bisa mereka samakan dengan pisau belati.
Wahai lelaki yang terpercaya…
Izinkan aku berterus terang dalam surat ini, tanpa
sedikitpun keraguan untuk mengungkapkan semuanya, termasuk apa-apa yang kujaga
dan kusembunyikan rapat-rapat dari penglihatan dan pendengaran orang lain.
Sebab aku tahu engkau adalah Al-Amin. Sebab kau bicara
dengan tuntunan wahyu, bukan memperturut nafsu. Meskipun sebagian orientalis
jahil secara keji menfitnahmu dengan tuduhan-tuduhan tak berdasar, namun aku
yakin kau adalah qudwah hasanah. Mereka yang melakukanblack campaign kepadamu, sesungguhnya hanyalah orang-orang yang
disinyalir Allah SWT ingin memadamkan cahaya agama-Nya dan makar Allah adalah
sebaik-baik makar.
Wahai lelaki yang mulia akhlaknya…
Aku mulai kesahku dengan rasa malu yang menusuk-nusuk
kalbu. Harus bagaimana lagi menyikapi realitas ummat yang semakin menjauh dari
pedoman ad-dien? Kemerosotan moral
terjadi dimana-mana: jalanan, sekolah, kampus, perkantoran hingga pasar dan
pusat perbelanjaan. Ghazwul fikr telah mencuci otak
pemuda Islam dari kejernihan agamanya sehingga sekarang menjadi terkontaminasi
dengan busuknya comberan nilai-nilai hedonisme.
Wahai lelaki yang terjaga perangainya…
Sungguh tak tega bila aku harus menunjukkan padamu
realitas faktual zaman kini. Al Islam mahjubun bil muslimun. Kemuliaan Islam
terhijab akibat perilaku penganutnya yang berkubang di tengah lumpur
jahiliyyah. Mungkin jahilnya sedikit berbeda dengan tingkah polah Abu Jahal
atau Abu Lahab. Salah satu ustadz kami, Sayyid Quthb, menyebutnya sebagai
jahiliyyah modern. Sampai-sampai mereka berani meragukan mutlaknya kebenaran
Al-Qur’an yang diturunkan kepadamu. Sampai-sampai mereka nekad menyebut syariat
Allah tak lagi kompatibel dengan zaman. Sampai-sampai mereka secara sok intelek
menyimpulkan jilbab hanyalah produk budaya belaka. Sampai-sampai mereka tega
menuduh risalah yang telah memuliakan perempuan ini sebagai lembaga yang
mengokohkan budaya patriarki yang menindas martabat kaum hawa, lalu mereka secara
kompak menyanyikan koor kesetaraan gender.Naudzubillah…
Aku benar-benar geram mendengarnya. Marahku kepada
mereka nyaris tak tertahan, wahai Rasulullah. Kata seorang teungku, dalam
mazhab Imam Ahmad bin Hanbal, seandainya saja pemerintah menjadikan Islam
sebagai hukum positif, niscaya hukuman mati sudah selayaknya dihadiahkan bagi
siapapun yang nyata-nyata menghina Allah, Rasul-Nya dan agama ini. Tapi apa
dayaku, negeri ini masih hidup dalam iklim yang takut-takut bersyariat.
Bersyariat setengah hati. Totalitas tunduk tidak pasti. Dicap sekuler tidak
berani. Astaghfirullah…
Wahai lelaki yang anggun pesonanya…
Teman-temanku kini sudah biasa membuang waktunya
dengan hal-hal yang makruh, syubhat bahkan haram. Hari-hari mereka dihabiskan
di warung kopi atau kafe santai untuk bermain game online yang cenderung
mengarah pada perjudian dan zina. Awalnya aku coba berbaik sangka. Tapi
nyatanya apa? Shalat saja mereka lupa. Sebungkus rokok yang mereka hisap
perlahan telah mencerabut secara perlahan kesadaran mereka. Bahwa mereka adalah
mahluk ciptaan-Nya yang harus taat pada Maha Pencipta, bukan malah menduakannya
lalu memuja-muja thagut durjana.
Wahai lelaki yang lembut tutur-sapanya…
Kesedihan demi kesedihan terus menggelayutiku hari
ini. Apalagi jika terpaksa melihat realitas saudari-saudari muslimah yang kini
kehilangan identitas diri. Jilbab dikhianati. Aurat diumbar di sana-sini. Tanpa
peduli mata lelaki begitu buas melahap menikmati tontonan gratis yang bermagnet
sakti, mengajak menuju neraka penuh api. Baju mereka full pressed body. Ketat, seksi ditambahi dengan wewangian tabarrujpengundang laknat.
Tak sedikit pula aku mendengar kabar dari angin yang
berhembus sepoi menemani langit Banda yang berpelangi sehabis hujan: ada
transaksi cinta di pantai-pantai penyejuk mata. Masya Allah. Pasca musibah maha
dahsyat tsunami yang meluluhlantakkan nanggroe, kubaca sebuah tabloid
menurunkan headline: Banda Aceh Undercover. Naudzubillah.. Entah
ini sekedar sensasi saja atau benar-benar Banda kini tak lagi berbeda dengan Jakarta
yang dideskripsikan Moammar Emka. Ulee Lheu, Ujong Batee, Lamphuuk dan Lhok Nga
serta sejumlah wisma ditengarai menjadi tempat setan berkerumun menjajakan
provokasinya. Uang memanjakan syahwat. Dan imanpun tergadaikan. Bukannya
pantai-pantai untuk bertafakkur, malah membuat akidah semakin luntur.
Wahai lelaki yang gagah perkasa…
Bila terus diceritakan, kisah ini hanyalah berisi
kumpulan risau yang membuncah. Dan kami butuh pemecah resah itu. Aku terkadang
miris melihat para da’i pun masih saja berkutat pada selisih pendapat yang
tidak produktif: qunut, nawaitu, rakaat shalat tarawih, berapa kali adzan shalat jumat dan semacamnya.
Bukankah itu cuma hal-halfuru’ yang para ulama
membolehkan terjadinya ikhtilaf? Bukankah lebih baik semua bersinergi membina
ummat? Membenahi akidah, mengoptimalisasikan pendidikan, mensejahterakan
ekonomi dan sebagainya? Duh…lagi-lagi aku tak kuasa berbuat sendiri. Sebab,
lidi yang satu tak kan bisa menyapu dedaun walaupun sehelai. Hanya kebersamaan
dalam satu ikatanlah sumber kekuatan ummat ini agar tidak menjadi buih di
tengah lautan.
Wahai panglima pasukan mukminin…
Tak sedikit di antara kami –termasuk aku- yang jika
dimintakan menuliskan kolom tokoh idola di lembaran biodata akan segera tanpa
ragu menulis namamu. Namun mirisnya, masya Allah, itu tetaplah hanya
menjadi catatan di atas kertas belaka. Sunnah-sunnahmu ditinggalkan begitu
saja. Sedih sekali rasanya melihat shaf subuh di masjid yang selalu sunyi,
majelis taklim yang ditinggalkan jama’ah dan adab bertetangga yang kini tak
lagi terjaga. Begitupun etika bersaudara, seolah sudah tidak ada. Naudzubillah…
Ingin sekali rasa hati bertemu denganmu, menjumpai
keluargamu dan para sahabatmu. Rindu betul aku dengan suasana hidup yang rabbani, membayangkan Bilal bin Rabbah dengan adzan yang menggetarkan dan shalat
bersamamu yang penuh haru. Lalu aku ikut duduk di halaqah bersamamu. Bahkan kalau
bisa menjadi salah satu orang yang turut meriwayatkan hadits langsung dari
lisanmu. Oh, indahnya.
Wahai lelaki yang mengimami shalat para mukhlisin…
Membaca sirahmu sesekali saja sudah membuat ghirahku menggelora. Apalagi bila aku hidup bersamamu di zaman itu. Subhanallah. Aku pasti takjub pada peristiwa-peristiwa dahsyat
yang tak normal jika menuruti hawa nafsuku. Melihat ketegasan Umar bin Khattab,
kelembutan Abu Bakar, kedermawanan Utsman. Juga melihat bagaimana mereka betapa
semangat menyambut seruan jihad. Seperti tokoh yang menjadi salah satu
favoritku: Handzhalah yang rela meninggalkan pengantinnya di malam pertama.
Akan tetapi, tentu saja yang paling ingin kubersamai
adalah dirimu. Bagaimana kau mengelola Imperium Madinah, bagaimana lantunan
qira’ahmu dalam shalat yang menderaikan air mata makmum, bagaimana lihainya kau
memimpin sebuah pertempuran, bagaimana kau menjadi qawwam dalam rumah tangga, menjadi suami romantis penuh cinta
kasih dan ayah yang lembut lagi perhatian kepada anak-anaknya.
Wahai lelaki yang lembut hatinya…
Bertemu denganmu di kala jaga adalah sebuah utopia.
Maka bermimpi berjumpa denganmu adalah salah satu yang kudamba. Karena kata
para ulama, itu mungkin saja. Namun yang paling kuharapkan, insya Allah di
surga nanti kita bertetangga. Walaupun dari sisi amal sudah pasti aku yang berlumur dosa ini akan sangat jauh darimu, namun aku ingat betul salah
satu sabdamu, “Engkau akan bersama orang yang kau cintai di akhirat nanti.”
Hari demi hari aku hanya terus berusaha merawat
cintaku padamu mulai dari basuhan wudhu’ di pagi hari, harmoni sujud di simpang
dhuha hingga simfoni zikir menjelang rehat di malam hari. Meski shalat
jama’ahku kadang menjadi masbuk, rakaat dhuhaku selalu pas-pasan dan
qiyamullail dengan kondisi mengantuk, aku hanya ingin mengatakan bahwa aku
mencintaimu melebihi kecintaanku pada ayah ibu, melebihi cintaku pada istri
cantik yang baru saja kunikahi. Cintaku insya Allah lebih dalam dari
dalamnya palung Pasifik dan menjulang lebih tinggi dari puncak Himalaya.
Wahai lelaki yang penuh pesona…
Ini harapku. Sederhana saja sebenarnya. Dan, ya, kau
benar. Aku sendirilah yang harus mewujudkannya agar ini semua tak sekedar
menjadi mimpi. Setidak-tidaknya, aku mesti bersiap menyambut pemimpin yang
kelak akan didaulat dan meneruskan perjuangan menegakkan risalah, menanti
pemimpin yang kau janjikan di akhir zaman:khilafah ala minhajin
nubuwwah.
Mudah-mudahan dengan amalku yang tak banyak ini, kau
tetap mengakuiku sebagai ummatmu yang kelak tetap mendapat syafaat.